Dik...
Dik...
Deru derap langkah kota
membuatku lupa
tentang rahasia-rahasia
yang tak sempat diterjemahkan oleh senyum kita...
mengapa selalu gagal tuk mengerti
isyarat yang melulu ramah tamah...
apakah kata dan bahasa...
telah mengalami reduksi makna?
Dik... Aku mulai terbiasa
air mataku banjir kiriman
tangisku klakson bis kota
tahiku proyek mercusuar
hampir tak mampu kuingat lagi...
fotomu yang dulu pernah kucuri...
dan kukembalikan lagi.
Dik... aku mulai terbiasa
akan janji-janji yang kerap ingkar
akan lelap-lelap yang kerap jaga
karena menyadari ternyata diri ini tersendiri...
bukanlah hal yang aneh lagi.
kukira mimpi kita sempat sama...
namun tinggal satu wajahku yang di dalam kaca...
dan jari-jari kalian sibuk menudingnya...
Dik... aku mulai terbiasa
diluar, aku keracunan karbonmonoksida...
didalam, kusembah televisi bagai berhala...
kemana harus kutanam bunga
jika pekarangan kami beton semua...
Dik... di kota ini tak ada manusia...
yang ada hanya gagak dan serigala...
seperti kita.
hingga setiap rasa yang dulu seru...
untuk dijadikan syair-syair lagu...
kini tinggal jadi komedi...
yang ternyata tak lucu lagi...
Dik... dimana lagi di kota ini
tempat untuk temukan kembali...
kenangan tentang senja dan bianglala...
kecuali dalam teduh tatapmu?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home