The Violin Girl
Beberapa hari yang lalu saya diundang ke pesta pernikahan seorang teman dekat, di sebuah hotel mewah di daerah Senayan. Teman ini dulu sempat sekantor dengan saya, dan duduk bersebelahan di satu cubicle. Namun sejak dia mengundurkan diri untuk melanjutkan pendidikannya, praktis komunikasi kami tak se-intens sebelumnya, walaupun tetap keep in touch every once in a while. Saya sekarang juga telah pindah tidak bekerja di kantor itu lagi.
Anyway, sebelum berangkat saya sempat ragu apakah harus datang atau tidak, karena kebetulan saat itu hujan, dan karena saya tak memiliki kendaraan, agak menyebalkan kalau harus berpergian di kala hujan. Alasan kedua, ini pesta kaum upper-class, definitely. So I have to look sharp. Dan terus terang, saya mulai kehabisan kostum resmi untuk di mix-and-match menghadiri acara2 seperti itu. Jas saya hanya itu-itu saja dan teman-teman mulai hafal pakaian resmi saya. Apalagi koleksi jas saya (yang notabene tidak banyak) bukan model-model generik yang bisa dipakai berkali-kali tanpa kuatir bahwa orang akan notice bahwa saya hanya memakai jas yang itu melulu. Jas saya adalah warisan almarhum ayah saya, yang dipakai saat beliau bersekolah di Eropa, waktu saya masih kecil dan belum memasuki usia sekolah. Jadi modelnya selalu eye-catching karena vintage, or oldies, or whatever. Warnanya pun bukan warna yang aman seperti hitam atau biru gelap, namun coklat tua dan coklat muda, dengan bahan yang bertekstur, terbuat dari wol. Sebab itu, people will notice and remember if I'm wearing the same jacket again. Rasanya saya harus mulai menabung untuk membeli jas baru.
Namun demi menghormati teman saya ini, saya memutuskan untuk tidak peduli soal kostum, dan berangkat memakai jas yang biasa, segera setelah hujan berhenti. Saya sempat ketiduran sekitar 30 menit menanti hujan reda, dan begitu terbangun, sebenarnya masih sedikit hujan rintik-rintik. Saya segera berganti pakaian, put on my best branded leather shoes, menjinjing jas, dan melesat keluar rumah mencari taksi.
Singkat cerita, saya tiba di hotel yang biasa dipakai menginap (dan berselingkuh) oleh para anggota dewan negara ini jika mereka sedang bersidang. Menuju ke Grand Ballroom... dan, holy shit. Di ballroom yang sedemikian besarnya, manusia nampak berjejal. Seperti konser musik rock saja. Entah berapa orang yang hadir? 800? 1000? Dan hampir semuanya upper-class yang looking sharp, dressed to kill. Saya sempat bimbang apakah masuk jalur antrian salaman, atau langsung menuju area makanan? Jalur antrian salaman sangat panjang seperti antri karcis konser The Rolling Stones. Area makanan pun tak kalah ramainya, sampai saya tak bisa mengenali yang mana antara ujung antrian meja makanan yang satu dengan meja makanan yang lain. Makanannya sendiri, tak perlu dipertanyakan, menu-menu dahsyat. Tapi, to be honest, saya selalu kurang berselera untuk makan di pesta pernikahan, sedahsyat apapun makanan yang disediakan. Bukan karena tak suka, tapi entah kenapa, mindset saya ke pesta pernikahan adalah bersosialisasi, bukan untuk bergoyang lidah. Bukan berarti saya tak makan sama sekali juga, tapi saya tak menganggap ritual makan di pesta pernikahan demikian penting.
Sementara saya bimbang di persimpangan antara jalur salaman atau jalur makanan, saya sempat melihat ex-boss saya lewat di sebelah saya, sedang sibuk bicara lewat communicator-nya. Malas berbasa-basi, saya biarkan beliau lewat tanpa manyadari keberadaan saya.
Sebelum saya nampak seperti orang nyasar, saya putuskan untuk masuk ke jalur antrian salaman. Walaupun panjang dan lama, biarlah, paling tidak kalau sudah salaman saya bisa pulang kapan saja setelahnya. Kebetulan jalur antrian tersebut lewat persis di depan panggung band. Saya perhatikan pemain-pemainnya, hmmm... mereka musisi-musisi yang sering tampil di televisi, bahkan beberapa saya bisa tahu namanya karena memang cukup terkenal. Nampak juga seorang penyanyi wanita yang lumayan terkenal sedang duduk menanti giliran tampil. Wah, pasti tidak murah menanggap band ini, pikir saya. Bahkan mereka juga dilengkapi beberapa orang di string section (sekelompok alat musik gesek). Begitu saya sampai persis di depan panggung, saya memperhatikan barisan string section tadi. Yang langsung menarik perhatian adalah, diantara para musisi yang semua berpakaian serba hitam-hitam, ada satu pemain biola yang, walaupun berpakaian resmi hitam-hitam, namun memakai sepatu merah! Saya gerakkan pandangan saya sedikit keatas, ternyata pemakai sepatu merah ini adalah seorang gadis lucu nan cantik. Nampak kontras diantara pemain alat gesek lainnya yang nampak nerdy dan lebih tua, gadis biola bersepatu merah ini nampak muda dan segar sendiri. Saya coba menerka usianya, mungkin sekitar lima tahun lebih muda dari saya, atau mungkin lebih. Masih kelihatan seperti mahasiswa. Tentu saja, sepatu merahnya membuat dia juga lebih stand out diantara rekan-rekannya.
Karena antrian salaman bergerak lambat, saya cukup lama berdiri di depan panggung dan banyak waktu untuk memperhatikan gadis biola tadi. Karena saat itu kebetulan lagu yang dimainkan sedang tidak mengikutsertakan string section, maka si gadis biola tadi hanya duduk diam menyanding alatnya, dan memandang ke arah para tamu di depannya. Dia sendiri mungkin menyadari keberadaan pria berjas kuno aneh yang berdiri di barisan antri salaman, sedang curi-curi pandang, observing her. Sedetik atau dua, kami sempat saling bersitatap. Dan rasanya tanpa sadar saya sempat menggerakkan otot wajah saya sedikit untuk tersenyum. Tapi mungkin tidak juga, entahlah...
Kemudian antrian terus bergerak, dan saya lewat meninggalkan depan panggung band. Seketika gadis biola itu pun tak saya pikirkan lagi, dan saya memindahkan perhatian saya ke arah gerombolan tamu-tamu, berharap ada satu atau dua orang yang saya kenal sehingga nanti bisa diajak ngobrol-ngobrol. Saya tidak menemukan siapa-siapa. Akhirnya tiba juga ke panggung pelaminan, dan saya bersalaman denga pihak kedua mempelai. Turun dari pelaminan, saya mulai kembali seperti anak nyasar. Kemana nih... makan apa... atau minum mungkin? Ngemil kue-kue? Ah semua makanan tak bisa dirunut ujung antriannya, kecuali meja pudding, kue, dan buah-buahan. Daripada bengong, saya sikat saja kue-kue dan pudding. Celakanya, tidak ada smoking area disana, bahkan diluar ballroom. Masak harus keluar ke lobby kalau ingin merokok? Memang, merokok di keramaian seperti ini bukan hal terpuji, namun biasanya disediakan spot-spot tertentu untuk kami-kami pecandu nikotin yang hina ini.
Beruntung, akhirnya ada juga orang yang saya kenal. Even more wonderful, yang saya jumpai adalah beberapa ex-chrushes saya dulu. Ya, tidak cuma satu, tapi dua ex-chrushes saya hadir di acara ini. Yang satu datang dengan suaminya, dalam keadaan makin cantik dan... hamil sekitar tiga atau empat bulan. Yang satu lagi, ex-gebetan saya sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, datang bersama kekasih barunya (well, mungkin tak terlalu baru, tapi saya baru dikenalkan malam itu).
What a great night. Saya sempat ngobrol-ngobrol dengan mereka, seperti layaknya sahabat yang sudah lama tak berjumpa. Everything is just nice, kecuali mood saya yang jadi sedikit nostalgik melankolik bertemu kedua orang tadi. Damn, bertahun-tahun event semacam ini kerap diselenggarakan, sampai teman-teman sudah pada beranak pinak bagai kelinci, saya masih saja selalu datang tanpa pasangan ke acara pernikahan. Hahaha...
Saya tak menemukan teman ngobrol lagi selain mereka, namun karena mungkin akan jadi canggung kalo saya nempel-nempel salah satu atau kedua pasangan itu terus-terusan, maka saya permisi untuk berkeliling, dengan alasan cari-cari makanan.
And God bless us all... saya akhirnya menemukan bar, di dekat VIP buffet. Perfect. Saya mengambil segelas bir, and I think I'll just stay there. It's the safest place for me, hehehe...
Saya pun asyik menikmati bir dingin yang luar biasa segar, sambil menyaksikan tayangan live camera acara pernikahan ini yang muncul di big screen, di sebelah kanan ballroom. Saya tertawa terbahak sendirian melihat tayangan dua wanita saling sikut dan seruduk saat acara menangkap lemparan bunga dari kedua mempelai. Lucu juga, dengan busana ala bangsawan mereka sampai bergulingan untuk seikat bunga tadi. Saya jadi ingat, dulu, sekitar dua tahun lalu, di acara pernikahan lain, saya kebetulan berhasil menangkap bunga yang dilempar kedua mempelai, tanpa effort apa-apa selain menjulurkan tangan ke atas. Tak ada seruduk menyeruduk. Dan mitos-mitos bahwa si penangkap bunga akan segera menyusul menikah setelah itu, ternyata perlu dikaji ulang, hehehe...
Akhirnya, acara resmi pun usai, kini kedua mempelai telah turun dari pelaminan dan bercengkerama dengan para tamu. Band telah pindah ke panggung kedua yang letaknya kini ada di depan dancefloor di daerah family dan VIP buffet. Kini band-nya tampil sudah tanpa string section. At that time, I feel a little bit woozy setelah gelas bir yang kesekian (saya lalai menghitung gelas bir keberapa). Mungkin ini saatnya saya pulang, sebelum semakin banyak bir yang saya gelontorkan ke kerongkongan, dan kemudian terjadi hal-hal memalukan.
Swiftly and quickly, saya keluar dari ballroom, mengambil souvenir pernikahan dan berjalan keluar lobby hotel. Sampai di pintu lobby, saya sudah terlalu malas untuk membalas sapaan si penjaga pintu. Kantuk karena bir sudah menyerang. Namun melihat ada asbak besar diluar, saya memutuskan untuk merokok dulu barang sebatang sebelum pulang.
Sembari menghembuskan asap-asap,saya menyapukan pandang ke sekeliling lobby. Banyak orang sedang menanti kendaraan masing-masing. Namun seketika pandangan saya terhenti di sebelah paling kanan saya. Di sana gadis biola bersepatu merah itu berdiri, dengan violin-case tersandar ke kakinya. Well, look who's here... saya pikir. Saya tersenyum sendiri. Saya kembali mengamati gadis biola yang manis ini. Mungkin karena pengaruh bir tadi, saya sudah tidak terlalu waspada terhadap gerak-gerik saya sendiri, sehingga si gadis biola pun mulai merasa ada yang memperhatikan. Dia mendadak menoleh pada saya. Dan saya sudah terlalu tidak peduli untuk ber-jaim-ria dan membuang pandangan ke arah lain. Saya dengan bodohnya terus menatap dia. Dia mulai nampak kikuk dan tak nyaman, walau sesekali membalas tatapan saya. Dia juga mulai menggeser posisinya agak menjauh, mencoba bersembunyi dari kejaran mata saya.
Sejenak sempat terbersit, apakah saya datangi saja dia, lantas berbasa-basi dan mengajak kenalan? Pikiran itu jadi berkecamuk... come on, old boy... this could be your chance of a lifetime, for who knows what's next. Saya sempat bergerak selangkah, namun ragu-ragu. nampaknya gerakan ragu-ragu saya tadi juga semakin membuat si gadis biola ini gelisah. Pastinya saat ini saya sudah bau bir, dan saya tak akan bisa merangkai kata-kata basa-basi dengan benar... Tapi apa salahnya, kalaupun perkenalannya gagal dengan memalukan, toh kecil sekali kemungkinan kita akan bertemu lagi entah dimanapun. But, shit, this is just not my game, really. And the beer is getting on my head and not helping anything.
Tik tok.. tik tok.. tik tok... detik berjalan entah cepat atau lambat, kadang serasa seabad, kadang serasa lebih cepat dari kejapan mata... ayo, pak tua, make up your mind!
Sebelum sempat berpikir, sebuah Honda Jazz merah (ya, merah), datang di depan lobby dan berhenti di depan si gadis biola bersepatu merah. Dia masuk dan duduk di kursi belakang, dan mobil itu melaju meninggalkan hotel. And there she goes... hahaha... Mungkin tak akan dua kali saya bertemu dia lagi. Mungkin semesta saya dan dia memang hanya bersinggungan sejauh ini saja, cukup. Well, let's go home then...
Saya tersenyum sendiri, mematikan rokok, dan segera menghentikan taksi kosong di depan lobby. Dalam perjalanan pulang, sambil terkantuk-kantuk saya menyenandungkan lagu lama Elvis Costello, "...because the angels wanna wear my red shoes..."