Saturday, February 10, 2007

Musik Pengantar Banjir

Akhirnya saya bisa online juga setelah musibah banjir yang menjadikan Jakarta laksana sebuah waterboom raksasa.
Yup, internet di kantor saya masih down sampai hari ini, dan sekarang saya online via hotspot di cafe langganan saya di sebuah Plaza di pusat Jakarta. Cafe ini memang sudah jadi tempat rutin saya ngopi-ngopi, menulis, atau bahkan sekedar melamun, selama 3 tahun terkahir, bahkan staff dan para pramusaji cafe ini sudah hafal saya. Mereka tahu, saya selalu datang sendirian, memilih duduk di table dekat jendela, dan biasanya hanya sibuk menulis di kertas, atau sekedar merokok sambil menikmati kopi. Mereka sering bertanya-tanya kok saya datang sendirian terus. Apa tak punya pacar? Jawabannya cukup jelas. Lucunya, saya di suatu momen langka, sempat hadir membawa seorang teman wanita... dan dari wajah para staff dan pramusaji seisi cafe, mereka nampak seakan bertempik sorak menyambut kedatangan saya bersama teman wanita tadi. Seakan mereka berkata, akhirnya... bapak ini datang tidak sendiri...!! Hahaha... dan kini saya bisa memanfaatkan fasilitas hotspot-nya, thanks to my brand-new-secondhand Apple Powerbook, dan voucher internet 50.000 rupiah yang cukup untuk online sekitar 4 jam.

Bicara soal banjir, beruntung rumah saya sekarang tidak tersentuh, kecuali jalan akses utama yang sempat mati karena tenggelam dihajar banjir. Tidak seperti rumah saya yang lama, yang sudah kami jual sekitar dua tahun lalu, dan sekarang sudah berubah menjadi sebuah mini mart. Dia tenggelam sampai nyaris setinggi atap, dan sempat diliput di televisi. Kalau saya masih tinggal disana, tak terbayang...
Beberapa rekan kantor saya sempat kena banjir, terperangkap tanpa listrik dan telepon selama beberapa hari.

Anyway, saya sebenarnya tak punya hal penting lain yang cukup layak untuk saya utarakan disini sekarang. Namun karena sudah gatal setelah sekian lama putus hubungan dengan dunia maya, mungkin saya coba rekap saja beberapa hal yang mungkin menarik selama saya tak bisa online.
Tanggal 3 Februari yang lalu, saya dan beberapa teman sempat menghadiri acara musik di sebuah cafe di Cikini, yang bertema apresiasi terhadap salah satu band rock progresif paling legendaris, Genesis. Genesis ini adalah salah satu band favorit saya sepanjang masa. Pada acara hari itu, selain ada band yang akan perform lagu-lagu Genesis, juga ada semacam diskusi tentang Genesis bersama beberapa narasumber yang cukup kompeten dan senior di bidang musik, dan pastinya paham wacana musik progresif, khususnya Genesis.

Singkat cerita, terlepas dari paranoia banjir yang masih hangat-hangatnya mencekam ibukota, saya dan beberapa teman sesama penggemar Genesis berhasil hadir di acara tersebut, yang saya dapat undangannya dari sebuah mailing list musik yang saya ikuti. Dan saya sangat bersyukur, acara tersebut cukup memenuhi ekspektasi saya untuk mendapatkan hiburan saat tertekan oleh rutinitas kantor dan musibah banjir tadi.
The band was quite good, really. Walaupun karena banjir, gitaris dan vokalisnya urung hadir, namun mereka cukup berhasil menyajikan repertoar Genesis secara cukup representatif. Diskusinya pun cukup menarik.
Setelah acara tersebut selesai, feeling yang saya dapat adalah, seperti jatuh cinta lagi untuk kesekian kalinya pada Genesis. Menyadarkan lagi pada saya, how great Genesis were in the seventies and eighties (walaupun di era nineties mereka sudah agak basi).
Hadir di event tersebut mengingatkan saya kembali, betapa virtuosic permainan keyboard Tony Banks yang sangat classically-influenced. Betapa eksentrik dan jeniusnya Peter Gabriel sebagai frontman dan konseptor Genesis di masanya. Betapa seorang Phil Collins dapat dianggap salah satu drummer musik kontemporer terbaik sepanjang masa (selain suksesnya menjadi pop hitmaker yang bisa membantu mendefinisikan semaraknya musik era eighties saat dia bersolo karir), dan sukses menggantikan posisi vokal Gabriel saat Gabriel memutuskan keluar dari Genesis di akhir 70-an. Betapa solid dan appropriate permainan bass dan gitar Mike Rutherford dalam menjadi bagian integral sebuah komposisi musik, etc... etc...
Damn, Genesis was really good, I really love this band. Saya bahkan beruntung sempat membeli buku riwayat mereka yang berjudul "Turn It On Again: Phil Collins, Peter Gabriel And Genesis" sekitar setahun lalu, walaupun harus merogoh kocek cukup dalam. And, fyi, tiga serangkai Genesis; Banks-Rutherford-Collins, akan mengadakan tour reuni keliling Eropa di tahun 2007 ini. Jika saya harus terus bicara soal Genesis disini, posting blog ini akan menjadi cerita bersambung...

Sepulang dari acara tersebut, melodi lagu-lagu Genesis terus berdengung di kepala saya. Setibanya di rumah, saya tidak bisa menahan diri untuk membongkar koleksi CD saya, dan mengeluarkan album-album Genesis yang saya miliki untuk kemudian saya dengarkan secara marathon sepanjang malam sampai saya tertidur. Bahka keesokan harinya di kantor, saya masih mengumandangkan lagu-lagu mereka dari i-tunes di komputer saya.

Genesis mengantar saya tumbuh, itu tak bisa saya pungkiri, walaupun mengingat usia saya, memang saya baru mengenal Genesis di akhir tahun 80-an, saat saya masih di sekolah dasar, dan saat itu Genesis sudah di puncak kesuksesan komersialnya. Saat di sekolah menengah, saya tidak menemukan teman untuk berbagi apresiasi saya terhadap Genesis. Mungkin musiknya dianggap terlalu 'om-om', tidak trendy untuk orang seusia saya saat itu. Namun begitu saya kuliah di Bandung, di Seni Rupa ITB, barulah minat saya terhadap Genesis bisa tersalurkan. Ternyata banyak sekali penggemar musik progresif semacam itu, bahkan salah seorang dosen saya adalah penggemar berat Genesis. Dan saya berhasil banyak mendapatkan koleksi album-album lama mereka dari para penjual kaset dan CD bekas yang biasa mangkal di Jalan Cihapit dan Dipati Ukur. Bahkan selama di Bandung, saya cukup berhasil menularkan wabah Genesis ke adik-adik mahasiswa yang lebih muda. Bandung berhasil mengembangkan minat dan apresiasi saya terhadap musik progresif, khususnya Genesis.

Dan kini, saat saya jatuh cinta lagi untuk kesekian kalinya pada Genesis, lagu-lagu mereka seketika menjadi pelipur lara saya dalam menghadapi hectic-nya pekerjaan di kantor, dan keprihatinan karena banjir yang meluluh-lantakkan Jakarta. Saya seakan bisa menemukan kembali optimisme dan rasa easy-going seperti masa saya masih kuliah dulu.
Saya harap kalian masing-masing bisa menemukan wahana pelipuran yang serupa, lewat apapun, tak perlu lewat lagu-lagu Genesis.

Wish you all the best, tetap semangat!