Tuesday, October 31, 2006

Best Of Both Worlds


Jika anda penggemar musik rock-progresif yang old-school, mungkin nama Marillion cukup familiar di telinga. Mereka adalah salah satu band yang menjadi garda depan prog-rock selain nama-nama besar seperti Genesis, Yes, dan Pink Floyd, to name a few.
Marillion is one of my favorite progressive-rock band. Mereka memiliki dua era, yang ditandai oleh dua vokalis. Vokalis pertama, Fish, yang kemudian mengundurkan diri untuk bersolo karir (dan karya-karya solonya kemudian cukup critically-acclaimed) dan digantikan oleh Steve Hogarth.
Era Fish terjadi di dekade 80-an, sementara era Hogarth dekade 90-an (debut Hogarth bersama Marillion adalah di tahun 1988 kalo gak salah...) sampai sekarang.


Fish (photo taken 1985)


Steve Hogarth (photo taken 1997)

Keduanya memiliki karakter unik masing2, memiliki penggemar masing2, dan Marillion pun jadi memilik dua karakter musik yang berbeda dengan masing2 vokalis tadi. Ketika dengan Fish, musiknya lebih teatrikal, lebih classic-influenced. Sementara di masa Hogarth, musiknya lebih straight-forward, mulai bergeser meninggalkan pengaruh klasik dan teatrikal.
Banyak yang kecewa atas perubahan itu, seperti halnya saat Peter Gabriel mengundurkan diri dari Genesis, dan Phil Collins mengambil alih posisi vokalis, tanpa meninggalkan tugasnya sebagai drummer (but of course, Genesis is another story). Namun tak bisa disangkal pula, seperti yang juga terjadi pada Genesis, Marillion juga berhasil merangkul penggemar2 baru melalui perubahan tersebut.

Tapi, tanpa berusaha memihak salah satu, saya suka keduanya, era Fish maupun Hogarth. Keduanya punya ciri khas, memiliki pengaruh masing-masing terhadap perkembangan artistik dan karir Marillion, dan kedua frontman tadi memiliki kemampuan menulis lirik lagu yang sama2 unik, sama2 puitis. Saya akan kutipkan dua lirik, satu dari masing2 vokalis tadi, sehingga anda mungkin dapat melihat keunikan atau perbedaannya. And maybe you should go hunting for their albums too... :)
----------------------------------------------------

WHEN I MEET GOD
(from the album Anoraknophobia, 1999, the Hogarth era)

And if the bottle's no solution...
Why does it feel so warm?
And if that girl is no solution...
Why did she feel so warm?

And if to feel is no solution...
Why do I feel....
Why do I feel so tired?
Why do I feel so broken?
Why do I feel so outside?
Why do I seem so blind?

I'm so sick of feeling
It's ruined my life

If living rough is no solution...
Why does it ease my mind?
If looking back is no solution...
Why are we all...
Nothing but children...
Children inside?

Why do the Gods...
Sit back and watch
So many lost...
What kind of mother...
Leaves a child in the traffic
Turning tricks in the dark
What kind of God?

I crawled around inside myself
It was a long way down
It was a mine and it was mine
And in the darkness
I saw a perfect mirror
Floating in space

When I meet God, I'm going to ask her...
What makes her cry...
What makes her laugh...
Is she just stars and indigo gas...
Does she know why, Love has no end...
But it's dark-angel friend
Tearing women and men
Slowly apart...

And if the bottle's no solution...
Why does it feel so warm?
And if looking back is no solution...
Why are we all just children inside?

And if to feel is no solution...
Why does the whole damn world feel so broken
So outside and out-of-sorts?

A perfect mirror
Floating in space
Waves and numbers
But oh, such beautiful numbers
And oh, such waves..
--------------------------------------------

SCRIPT FOR A JESTER'S TEARS
(from the album Script for A Jester's Tears, 1983, the Fish era)

So here I am once more in the playground of the broken hearts
One more experience, one more entry in a diary, self-penned
Yet another emotional suicide overdosed on sentiment and pride
Too late to say I love you, too late to re-stage the play
Abandoning the relics in my playground of yesterday

I'm losing on the swings, I'm losing on the roundabouts
I'm losing on the swings, I'm losing on the roundabouts
Too much, too soon, too far to go, too late to play, the game is over
The game is over

I act the role in classic style of a martyr carved with twisted smile
To bleed the lyric for this song to write the rites to right my wrongs
An epitaph to a broken dream to exorcise this silent scream
A scream that's borne from sorrow

I never did write that love song, the words just never seemed to flow
Now sad in reflection did I gaze through perfection
And examine the shadows on the other side of the morning
And examine the shadows on the other side of mourning
Promised wedding now a wake

The fool escaped from paradise will look over his shoulder and cry
Sit and chew on daffodils and struggle to answer why?
As you grow up and leave the playground
Where you kissed your prince and found your frog
Remember the jester that showed you tears, the script for tears
So I'll hold our peace forever when you wear your bridal gown
In the silence of my shame the mute that sang the sirens' song

Has gone solo in the game, I've gone solo in the game
But the game is over
Can you still say you love me?



Friday, October 20, 2006

Dan Hujan Pun Turun... (2)

Kusimak lagi syair-syair...
Sampai huruf-hurunya berguguran...
Mengotori meja kerja..

Kusimak lagi kata-kata...
Yang maknanya kuhunus bagai senjata..
Kukira dapat untuk lunaskan kesumat cinta...

Tapi hanya hampa...
Ketika bir tak lagi ramah menyapa...
dan dawai gitarku sumbang nadanya...

Tapi hanya tersisa rongga...
Tempat bersemayam perih sepi...
yang tak terbayar...
bahkan oleh ribuan kata tadi.

Tangan itu..
Yang dulu kutepis dengan caci maki...
Kini tak bisa kujabat lagi.

Ku menoleh keluar jendela
Mencoba temukan embun atau bianglala...
Namun yang ada hanya batu...
yang dilontarkan tatap matamu...

Aku terdiam...

dan hujan pun turun....

(September 2005)

Dan Hujan Pun Turun... (1)

Detik-detik jatuh
ke dasar hati yang berjelaga

Menyimak keheningan
Berteduh di bawah atap sesal...
dan kenangan yang surut perlahan...

Keraguan menjelma kekal...
Larut dalam rahasia...
Dibawa senja..
yang tunduk di cakrawala.

Kukemas lagi ego yang tersisa...
Ke Barat, anak muda...

Haruskah aku pergi seperti ini?

Aku terdiam..

dan hujan pun turun....

(September 2005)

Tuesday, October 17, 2006

Dear Karen and Richard...


Carpenters, another one of my favorite pop recording artists.
Terdiri dari dua bersaudara Richard & Karen Carpenter. Saya pernah menonton DVD lagu2 mereka sendirian di rumah, dan saya seketika diterpa gelombang rasa haru dan bahagia... hehehe... it's the power of music. I believe in it very much.

They're just beautiful. Beautiful people, beautiful music, great musical craftmanship.
Saat era 70-an digilas oleh arus musik rock dan heavy metal, at the end of the day, only the great piece of art can stand the storm... Carpenters menjadi satu2nya artis pop yang berhasil mencuat disaat industri musik sedang dikangkangi oleh musik keras.

Bukan berarti saya tidak suka musik rock, in fact, koleksi saya didominasi oleh rekaman-rekaman musik rock. But Carpenters is special. The sincerity and mastery of the art makes them stand out among other cute radio candyfloss pop...

Mereka mengawali sebagai kelompok jazz. Richard adalah classically-trained piano player, dan Karen adalah... seorang drummer gemuk yang pemalu! And she's a good drummer, too.

Siapa bisa menyangka, that chubby young girl behind the drumkit could step up into the light and becoming one of the most adorable and beautiful voice in pop music history?

What makes them special?

Pertama tentu saja bakat. Richard adalah seorang musisi jempolan. Kekuatannya menulis dan mengaransemen lagu sangat menonjol. Walaupun mereka banyak membawakan lagu2 cipataan orang lain pada akhirnya, namun kejeniusan Richard-lah yang mampu mengemas lagu2 itu menjadi sangat istimewa lewat aransemen musiknya. Strong harmony, and there's always a certain kind of sweetness in Richard's arrangements.
Dan Karen tak kalah berbakat, dia drummer jazz yang baik. And when she sings, my goodness, m y g o o d n e s s .... !!


Dia bukan tipe vokalis dengan teknik atau trik2 vokal yang fancy atau akrobatik. Suaranya tidak melengking-lengking dahsyat, tidak meliuk-liuk lincah, seperti misalnya... siapa ya.. Mariah Carey mungkin. Sama sekali tidak... dia bukan seorang biduanita berteknik gila-gilaan. But ada sesuatu... suaranya begitu nyaman... begitu akrab.
Bagaimana menjelaskannya ya... seperti mendengar sahabat kesayanganmu bernyanyi khusus untukmu seorang. That kind of warmth, that kind of intimacy.
It's amazing. Like your mother or beloved sister singing to you a lullabye before sleep. It don't have to be highly-skilled... but there's love in it. Karen Carpenter sings from her heart, directly to you and no other but you.

Kedua, the family value. Dua bersaudara cantik dan gagah, kulit putih..
Amerika terpesona karena family value tersebut. Siapa tak gembira melihat satu keluarga bisa menghasilkan karya begitu besar. Mereka memberikan harapan pada masyarakat bahwa nilai2 kekeluargaan masih sangat pantas untuk dibanggakan, bahkan di dunia hiburan, di jaman yang semakin edan.

Sayang nasib Karen berakhir tragis, di tahun 80-an dia meninggal dunia karena penyakit psikologis eating disorder, bulimia atau anoreksia gitu...
Meninggalnya Karen Carpenter menjadi shock bagi Amerika dan dunia. Potret seorang gadis baik2 tanpa cela, yang menyanyi bagai malaikat... ternyata terkoyak pula oleh problema. Seorang bintang memang seringkali harus dirampas nilai2 manusiawinya karena dia menjadi milik publik. Dan kasus Karen menjadi sangat memukul, karena publik tak menyangka seorang idola serba sempurna bisa mengalami masalah kejiwaan seperti itu.

Bahkan sambil mengetik posting ini dan mendengarkan lagu2nya di i-tunes, saya sekarang terharu...
Saya kutipkan beberapa lirik lagu mereka untuk anda... salah satunya adalah hit paling populer mereka Yesterday Once More.

Dear Karen & Richard, God bless you for the joy you have brought to us....
------------------------------------------------

ALL YOU GET FROM LOVE IS A LOVE SONG (1977)
Written by Steve Eaton

Like sailin' on a sailin' ship to nowhere
Love took over my heart like an ocean breeze
As seagulls fly I knew that I was losin'
Love was washed away with the driftin' tide

Oh it's a dirty old shame
When all you get from love is a love song
That's got you layin' up nights just waitin'
for the music to start
It's such a dirty old shame when you got to
take the blame for a love song
Because the best love songs are written
with a broken heart

And now the tears in my eyes are ever blinding
The future that lies before me I cannot see
Although tomorrow I know the sun is rising
Lighting up the world for everyone, but not for me

----------------------------------------------------

YESTERDAY ONCE MORE (1973)
Written by Richard Carpenter & John Bettis

When I was young
I'd listen to the radio
Waitin' for my favorite songs
When they played I'd sing along
It made me smile.

Those were such happy times
And not so long ago
How I wondered where they'd gone
But they're back again
Just like a long lost friend
All the songs I loved so well.

Every Sha-la-la-la
Every Wo-o-wo-o
Still shines....
Every shing-a-ling-a-ling
That they're startin' to sing's
So fine....

When they get to the part
Where he's breakin' her heart
It can really make me cry
Just like before
It's yesterday once more.

Lookin' back on how it was
In years gone by
And the good times that I had
Makes today seem rather sad
So much has changed.

It was songs of love that
I would sing to then
And I'd memorize each word
Those old melodies
Still sound so good to me
As they melt the years away.

Every Sha-la-la-la
Every Wo-o-wo-o
Still shines...
Every shing-a-ling-a-ling
That they're startin' to sing's
So fine...

All my best memories
Come back clearly to me
Some can even make me cry.
Just like before
It's yesterday once more.



Friday, October 13, 2006

Setangkai Gulana Untuk Juminten: Part 6 (The End)

VI.
Ada satu kepingan yang hilang
Dari makna-makna yang terserak di sekeliling kita…
Kepingan yang selama ini kucoba rangkaikan
Satu pertanyaan lahir tak terjawab
Pertanyaan yang mengukuhkan kemenangan takdir
Atas kita hamba-hamba yang rapuh ini.

Ada satu kepingan yang hilang
Bersama sayup senandung lagu patah hati…
Yang dulu sempat kutulis buatmu.
Setangkai gulana tumbuh untuk layu…
Meluruhkan kelopak-kelopak kenangan jatuh ke tanah
Tuk kemudian dihanyut hujan akhir tahun.

Ada seribu kata yang hilang
Dibelenggu air mata dan salam perpisahan
Hadirkan hening yang maha agung…
Dan sejuta makna yang gagal tuk terbaca.

Ada satu alasan yang hilang
Untuk ku terjaga dari tidur esok pagi
Karena bila kucuri pandang ke sudut itu lagi…
Disitu tak dapat kujumpai senyummu…


Sampai jumpa lagi, Juminten…

(Jakarta, Desember 2004 - Januari 2005)

Setangkai Gulana Untuk Juminten: Part 5

V.
Ini malam natal, Juminten
Rasanya kulihat senyummu di pohon terang itu

Ah, itu fatamorgana, Juminten…
Kau selalu jadi fatamorgana
Yang kerap kali melintas
Diantara huruf-huruf berita koran pagi…
Diantara hembus asap rokok di kamar mandi…
Diantara derik ranjang tua kala tidurku tak nyenyak…

Mengapa, Juminten?
Mengapa tiba-tiba ku ingin tulis lagu untukmu?
Dengan syair penuh dengan rahasia-rahasia
Yang sempat dirajutkan masa di belakang kita?

Kau tak perlu tahu mengapa.
Kau tak ingin tahu mengapa.

Ini malam natal, Juminten..
Jika aku jadi tutur kata yang terpanjat dalam doamu…
Maka aku takkan kembali pulang
Sebelum kupaksa Tuhan untuk mengabulkannya.

Dan jika aku masih pandai berdoa…
Kau boleh percaya bahwasanya
Pasti ada satu dua harapan untukmu didalamnya.

Agar kau tak lagi menangis…
Agar kau selau kuat…
Agar kau selalu bergelimang cinta…
Dan tak kenal apa itu nestapa.


Mengapa kau pergi, Juminten?
Meninggalkan kenangan pizza dan bruschetta…
Serta senandung Frank Sinatra.

Ini malam natal, Juminten…
Yang kuhabiskan bersama vodka, nyamuk dan kecoa…
Di kamar tua yang sesak oleh rindu dendam…

Jika kurasa sepi malam ini, Juminten…
Bukan karena kau tak ada…
Tapi karena aku sudah terlalu bodoh atau gila
Untuk bisa bedakan mana mimpi, mana nyata

Bohonglah padaku, Juminten…
Bohonglah padaku.

Tidurlah yang nyenyak, Juminten…
Dan kau boleh lega…
Karena jika ada kecup pangeran yang membuatmu terjaga…
Itu pasti bukan aku ternyata.

Larutlah dalam peluknya, juminten…
Karena aku hanya sepasang telinga.
Itu saja.
Senantiasa.

Selamat natal, Juminten.

Setangkai Gulana Untuk Juminten: Part 4


IV.
Dapatkah sesekali kita hanya diam
Merajut helai demi helai keheningan

Agar aku sempat menebarkan jala
Ke samudera tatap matamu
Mencoba menjaring setiap makna
Yang mungkin dulu lalai aku terjemahkan.

Dapatkah sesekali kita hanya diam
Membiarkan sang waktu lahir dan mati.

Agar aku sempat menuliskan lagu
Tentang kenangan yang telah lalu
Mencoba cermati mimpi-mimpi
Yang mungkin sempat saling kita bagi

Mungkin seharusnya kita hanya diam.

Diam saja…

Thursday, October 12, 2006

Setangkai Gulana Untuk Juminten: Part 3


III.
Andaikan alkohol bisa
Menjadi penjawab semua misteri ini,
Maka aku kan jadi orang paling bahagia di dunia.

Andaikan alkohol bisa
Menggantikan kata tak terucap antara kita,
Maka aku kan minum sampai jebol ginjalku.

Ah sama saja…
Apapun itu, aku akan tetap minum jua…

Andaikan kau ada
Angkat gelas bersamaku disini…
Barulah ginjal itu benar-benar layak dijebolkan.

It’s a sad man who drinks alone, Juminten…

Minumlah bersamaku…
Angkat gelas dan bergelak tawalah…
Toh kita sudah cukup umur untuk rahasia dan absolut vodka…
Malam ini masih lagi muda…

Setangkai Gulana Untuk Juminten: Part 2


II.
Sudah lelahkah kita, Juminten?
Sudahkah saatnya kita mencari tempat teduh
Dan berhenti menantang tatapan matahari?

Mengapa kita selalu harus berusaha keras
Untuk dapat mereka pahami?
Mengapa aku harus selalu berusaha keras
Untuk pahami perasaanku sendiri?

Apa makna hadirmu, Juminten?
Mengapa aku tersungkur disini…
Mencoba mengingkari segala macam definisi?

Ada yang hilang dari lembaran cerita ini, Juminten…
Lembaran yang kurobek dan kubuang sendiri…
Agar tak perlu dimengerti.

Setangkai Gulana Untuk Juminten: Part 1

I.
Siapa orangnya, Juminten…
Yang telah membuatmu menangis?

Apakah taring-taring realita
Telah mengoyak rajutan mimpi kita?

Siapa orangnya, Juminten…
Yang membuat hati rapuh kita…
Senantiasa terluka?

Mengapa kita selalu saja
Merasa gagal untuk mereka mengerti?
Mengapa kita selalu saja
Sibuk saling melipur lara?

Begitu sukarkah…Untuk bisa tersenyum bersama?

Setangkai Gulana Untuk Juminten: Prolog


Coba ceritakan lagi padaku, tentang kekuatiran, sekaligus kelegaan yang sempat ada.
Ceritakan lagi tentang hampa, atau mungkin rasa riang ria.
Ceritakan lagi padaku tentang potongan rambut barumu, atau buku bersampul beruang yang sempat kupinjam dan kugambari tempo hari.
Ceritakan padaku tentang polisi, maling, atau mantan kekasihmu yang kujadikan lagu.
Ceritakan lagi tentang Michael Jordan, Kahitna, dan es krim tepi kolam.

Terlalu banyak…
Untuk bisa diwakilkan pada beberapa bait kalimat yang sejenak lagi akan kau baca.

Ceritakan lagi padaku, Juminten…
Ceritakan semuanya….

Tuesday, October 10, 2006

Dik...

Dik...
Deru derap langkah kota
membuatku lupa
tentang rahasia-rahasia
yang tak sempat diterjemahkan oleh senyum kita...

mengapa selalu gagal tuk mengerti
isyarat yang melulu ramah tamah...
apakah kata dan bahasa...
telah mengalami reduksi makna?

Dik... Aku mulai terbiasa
air mataku banjir kiriman
tangisku klakson bis kota
tahiku proyek mercusuar

hampir tak mampu kuingat lagi...
fotomu yang dulu pernah kucuri...
dan kukembalikan lagi.

Dik... aku mulai terbiasa
akan janji-janji yang kerap ingkar
akan lelap-lelap yang kerap jaga
karena menyadari ternyata diri ini tersendiri...

bukanlah hal yang aneh lagi.

kukira mimpi kita sempat sama...
namun tinggal satu wajahku yang di dalam kaca...
dan jari-jari kalian sibuk menudingnya...

Dik... aku mulai terbiasa
diluar, aku keracunan karbonmonoksida...
didalam, kusembah televisi bagai berhala...
kemana harus kutanam bunga

jika pekarangan kami beton semua...

Dik... di kota ini tak ada manusia...
yang ada hanya gagak dan serigala...
seperti kita.

hingga setiap rasa yang dulu seru...
untuk dijadikan syair-syair lagu...
kini tinggal jadi komedi...
yang ternyata tak lucu lagi...

Dik... dimana lagi di kota ini
tempat untuk temukan kembali...
kenangan tentang senja dan bianglala...
kecuali dalam teduh tatapmu?

Friday, October 06, 2006

Costello's BROKEN











(Elvis Costello)


BROKEN (Costello & O’Riordan)

If I am frightened, then I can hide it...
If I am crying, I’ll call it laughter…

If I am haunted, I’ll call it my imaginary friend…
If I am bleeding, I’ll call it wine…

But if you leave me, then I am broken…
And if I’m broken, then only death remains…

If I am drifting, then I can fight it…
If I am sinking, no one will know it…

If I am blinded, I’ll have my voices still to guide me…
If they yet fled away, I’d bless the silence…

But if you leave me, then I am broken
And if I’m broken then only death remains…


---------------------------------------------------------------

Elvis Costello is one among lots of my favourite recording artists. When he first emerged at the 70's, he's just a post-punk, power-pop versatile talent, and now as we know it, he's one of the most recognized and well-respected songwriter and performer. He'd enjoyed the luxury of working together with important musicians, such as the legendary American songwriter Burt Bacharach, and the ex-Beatle Sir Paul McCartney, to name a few.
And above is Broken, one of the most beautiful lyrics in Costello's repertoirs. He wrote it with his previous wife (before he married the jazz singer, Diana Krall).
It's beautiful, indeed...

Kamu

Kamulah rock and roll…
Kamulah gitar elektrik…
dan celana bell-bottom.

Kamulah amphetamine…
Kamulah LSD…
dan marijuana.

Kamulah virtual reality…
Kamulah cybersex…
dan rekayasa genetika.

Kamulah Jagger – Richards…
Kamulah Lennon – McCartney…
Kamulah Muhammad dan Yesus.

Kamulah perempuan…
Yang kuingin ada fotonya…
Di meja samping ranjangku!!


(Bandung, 2001)

Masih

Masih kuingat kata-katamu, dik...
Sekitar tiga tahun yang lalu...
Tentang kecemasan pula harapan...
Yang bergeliat di dasar hati...

Masih bergaung gelak tawamu, dik...
Sekitar tiga tahun yang lalu...
Ketika di warung lumpia itu
Kita bersama hidupkan waktu...

Masih kuingat nasi goreng itu, dik...
Yang kau belikan di simpang Dago...
Untuk jinakkan cacing perutku...
Yang hingga larut malam masih ingin dekatmu...

Masih kuingat pasta gigimu, dik..
Ketika aku terpaksa bermalam
Karena membantu sebatas perlu...
Melukis bunga-bunga untuk tugas kuliahmu...

Masih kuingat body-spray mu, dik...
Yang senantiasa tersimpan rapi
Di dalam tas yang warna-warni...
Dibawa kemanapun pergi...

Masih kuingat kumis ayahmu, dik...
Saat ku diundang makan malam bersama...
Dan pulangnya beli bunga...
Dari penjaja kaki lima...

Masih kuingat semua cemburu, dik...
Sekitar tiga tahun yang lalu...
Waktu aku begitu dungu...
Mengandaikan kau sudah milikku...

Masih kuingat perih itu, dik...
Setiap kali berjalan pulang dari kost-mu...
Memikul rindu dendam membatu...
Merasa tersembelih oleh batasan waktu...

Masih kerap aku bertanya, dik...
Sejak tiga tahun yang lalu...
Mengapa sampai aku mau bermain...
Dalam pertandingan yang tak termenangkan ?

Masih terendus wangi rambutmu, dik...
Sekitar tiga tahun yang lalu...
Waktu kita masih saling memberi api...
Pada temaram lentera hati...

Apakah layak kuingat semua, dik...
Jika kau justru ingin melupa?

(Bandung, 12 Mei 2004)

Tuesday, October 03, 2006

UNTITLED


It calls your name…
Every whisper and caress…
That the wind gave to the trees…

I’d share with you…
Every laughter, every tears…
Every dream and hope and fear…

It sings about you…
Every note in every song…
Every rock and every roll…

I think of you…
Every minute, every second…
Every tick and every tock…

It leads to you…
Every road and path I’ve walked…
Every inch and every mile…

The answer is you…
For every secret and mystery
Every single tiny clue…

Every part of me…
Every flesh and every bone…
Missing you…

(21 Agustus 2004)

Flower In Your Hair

is that a flower in your hair?
or am i hallucinating in despair?
it's been a while since i've lost for words...
now they're jumpin' outta my tongue, fly like birds...

do i see stars inside those eyes?
or am i looking too hard for a surprise?
it's been too long for this soul o'mine...
searching for a touch, so tender, so fine...

is that a flower in your hair?
or am i hallucinating in despair?

(2001)